Studi: Kadar PFAS Makanan Rumahan Lebih Rendah dari Produk Kemasan
Ketika kita mengonsumsi makanan, penting untuk tidak hanya memperhatikan kelezatan dan kadar nutrisinya saja, tetapi juga memperhatikan kandungan zat berbahaya di dalamnya. Sejumlah makanan yang dibeli di luar atau jenis makanan kemasan memang rasanya lebih lezat dan sebagian juga memiliki kadar nutrisi lebih baik. Namun, bagaimana dengan kadar PFAS makanan tersebut?
Penelitian Kadar PFAS pada Makanan
Menurut sebuah penelitian baru-baru ini menyimpulkan bahwa orang yang mengonsumsi makanan yang dimasak di rumah memiliki kadar zat kimia PFAS yang lebih rendah dalam darahnya dibandingkan dengan orang yang sering mengonsumsi makanan kemasan dan makanan di luar. Hal ini dibuktikan dari hasil laporan orang yang sering mengonsumsi popcorn atau makanan siap saji yang harus dipanaskan dalam microwave, kadar PFAS dalam darah mereka secara signifikan lebih tinggi.
Penelitian tersebut juga didukung oleh data dari Survei Pemeriksaan Kesehatan dan Gizi Nasional yang sudah berjalan lama dengan membandingkan kadar zat-zat per dan polfluoroalkyl (PFAS) dalam darah dan makanan yang dikonsumsi peserta penelitian dengan metode kuesioner diet antara tahun 2003 hingga 2014.
Temuan paling penting dari penelitian baru ini menunjukkan bahwa orang yang cenderung makan lebih banyak makanan segar dan makanan yang disiapkan di rumah memiliki kadar bahan kimia PFAS “rantai panjang” yang sedikit lebih rendah dalam darah mereka, dibandingkan dengan mereka yang makan lebih banyak makan di restoran cepat saji dan jenis restoran lainnya. Namun, penelitian ini bersifat observasional, yang berarti tidak dapat menunjukkan sebab dan akibat.
Kadar PFAS dalam darah yang diuji dalam penelitian ini telah mengalami hasil penurunan selama 2 dekade terakhir, karena produsen kimia secara sukarela telah menghentikan produksi beberapa jenis bahan kimia terkait PFAS. Pada 2016, FDA juga mencabut peraturan yang memungkinkan bahan kimia PFAS rantai panjang dalam kemasan makanan.
Namun, bahan kimia PFAS rantai pendek telah menggantikannya di banyak produk, dan peneliti mengatakan tidak cukup diketahui tentang apakah senyawa ini lebih baik untuk lingkungan atau kesehatan kita. Badan kesehatan yang terkait (CDC) menyebut bahan kimia tersebut sebagai salah satu masalah kesehatan masyarakat dan mengatakan lebih banyak penelitian diperlukan untuk lebih memahami efek kesehatan dari paparan PFAS.
Para ahli yang tidak terlibat dalam penelitian ini mengatakan, itu berguna karena menunjukkan bahwa pilihan makanan dapat berdampak pada beban kimiawi yang kita bawa dalam tubuh kita.
“Membuat makanan di rumah dapat meminimalkan kontak dengan jenis makanan kemasan dan paparan bahan kimia yang dapat memengaruhi kelenjar tiroid yang sedang berkembang dan berhubungan dengan sejumlah konsekuensi kesehatan,” kata Leonardo Trasande, MD, seorang profesor pediatri dan kedokteran lingkungan di Langone Health University of New York.
Dampak Bahan Kimia PFAS di Tubuh
Ada ribuan jenis bahan kimia PFAS sintetis. Mereka telah digunakan sejak 1950-an untuk membuat produk seperti karpet tahan noda, kosmetik, kain tahan air, dan peralatan masak anti-lengket. Bahan kimia PFAS dapat larut ke dalam makanan melalui bungkus dan wadah yang dilapisi PFAS untuk membuatnya tahan minyak dan air. Mereka juga dapat menyusup ke dalam makanan selama pengolahan. PFAS sendiri sering disebut sebagai bahan kimia abadi, karena banyak yang tidak rusak dan larut di lingkungan. PFAS membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk rusak di tubuh kita.
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan, bahan kimia PFAS dapat mengganggu hormon alami tubuh dan mungkin membuat seorang wanita lebih sulit untuk memiliki momongan. PFAS juga sering dikaitkan dengan masalah pertumbuhan dan pembelajaran pada anak-anak. PFAS dapat menyebabkan masalah gangguan sistem kekebalan tubuh seperti mengurangi respons tubuh terhadap vaksin. Studi lain menghubungkan mereka dengan peningkatan kadar kolesterol dan kanker.
Bahan kimia PFAS bahkan dapat memengaruhi berat badan. Sebuah studi tahun 2018 oleh para peneliti di Harvard dan Pennington Biomedical Research Institute menemukan bahwa orang dengan tingkat PFAS yang lebih tinggi, lebih berisiko terhadap obesitas, ini juga terkait dengan perubahan pada tingkat metabolisme mereka ketika metabolisme bekerja lebih lambat membakar kalori tubuh tubuh saat istirahat.
Kekhawatiran tentang dampak kesehatan PFAS meningkat. Di luar negeri, seperti Washington, baru-baru ini menjadi negara bagian pertama di AS yang melarang bahan kimia PFAS dalam produk konsumen dan busa pemadam kebakaran. Denmark juga baru-baru ini melarang PFAS dari kemasan makanan.
Untuk mengurangi dampak tersebut, di Indonesia sendiri semua jenis makanan kemasan dan siap saji harus melalui pemeriksaan BPOM terlebih dahulu. Selain itu, ada peraturan dan penanda pada kemasan makanan. Beberapa jenis kemasan makanan tertentu yang terbuat dari plastik atau aluminium hanya boleh digunakan sekali saja dan harus dibuang. Ini juga salah satu pencegahan dampak PFAS dalam tubuh terkait dengan kemasan makanan.
“Kita semua tahu bahwa makan lebih banyak makanan segar dan makanan yang dimasak di rumah lebih baik untuk kesehatan kita karena berbagai alasan,” jelas penulis studi, Laurel Schaider, PhD, seorang ilmuwan penelitian di Silent Spring Institute di Newton, MA. “Penelitian ini memberikan alasan lain untuk makan lebih banyak makanan segar dan makanan yang dimasak di rumah.”
Leave a comment